Oknum DPRD Sungai Penuh Diduga Jadi Komisaris Perusahaan Proyek Klinik Polres Kerinci, Publik Desak Investigasi

SUNGAIPENUH – Proyek pembangunan Klinik Polres Kerinci yang digarap PT Alam Padoeka Djaya Inti kini menjadi sorotan tajam publik. Bukan hanya karena sumber dananya berasal dari APBD Kota Sungai Penuh Tahun Anggaran 2025 senilai Rp 1,4 miliar, tetapi juga karena muncul dugaan bahwa salah satu anggota DPRD Kota Sungai Penuh menjabat sebagai komisaris di perusahaan pelaksana proyek tersebut.

Informasi ini memantik gelombang kritik dari masyarakat dan pemerhati kebijakan publik. Pasalnya, proyek itu dinilai tidak sejalan dengan kewenangan pemerintah daerah, mengingat Klinik Polres Kerinci merupakan fasilitas institusi kepolisian, bukan bagian dari tanggung jawab Pemkot Sungai Penuh.

“Anggaran daerah seharusnya digunakan untuk kebutuhan langsung masyarakat Kota Sungai Penuh, bukan untuk membangun fasilitas lembaga vertikal seperti kepolisian,” ujar Dedi Dora, pemerhati kebijakan publik Provinsi Jambi.

Selain soal sumber dana yang dinilai tidak tepat sasaran, dugaan rangkapan jabatan antara pejabat legislatif dan perusahaan kontraktor proyek pemerintah semakin memperkeruh persoalan. Jika benar, hal tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta melanggar kode etik dan integritas DPRD.

“Ini bukan sekadar masalah administrasi, tapi soal moral dan integritas pejabat publik. DPRD seharusnya mengawasi penggunaan anggaran, bukan ikut bermain di dalamnya,” tegas sumber lain dari kalangan aktivis antikorupsi Sungai Penuh.

Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, oknum anggota DPRD yang dimaksud membantah tudingan bahwa dirinya menjabat sebagai komisaris di perusahaan tersebut. Namun, ia mengakui memiliki sejumlah saham di perusahaan itu.

“Sy bkn pengurus bkn komisaris, sy ada memiliki sekian persen saham d prshaan tsb. Klo nama itu nama sy, ssi akta sy bkn komisaris.. masa komisaris ada 2, stau sy komisaris ada 1,” tulisnya dalam pesan singkat via WhatsApp kepada wartawan.

Dengan pengakuan tersebut, publik kini menyoroti potensi benturan kepentingan yang tetap mungkin terjadi, meskipun oknum DPRD tersebut tidak secara resmi menjabat sebagai pengurus perusahaan. Sebab, kepemilikan saham di perusahaan yang terlibat proyek pemerintah juga bisa menimbulkan pertanyaan etik dan integritas pejabat publik, terutama bagi seorang wakil rakyat yang memiliki fungsi pengawasan dan penganggaran.

Sejumlah pemerhati menilai, meski bukan menjabat sebagai komisaris atau direksi, kepemilikan saham di perusahaan yang mengerjakan proyek pemerintah daerah tetap berpotensi melanggar kode etik DPRD dan prinsip good governance.

“Dalam konteks etika publik, yang perlu dijaga bukan hanya jabatan formal, tetapi juga keterlibatan ekonomi yang bisa memengaruhi independensi seorang pejabat,” tegas Dedi Dora.

Publik kini menunggu tindakan tegas dari aparat penegak hukum dan Badan Kehormatan DPRD Kota Sungai Penuh untuk menelusuri dan mengungkap kebenaran di balik proyek bernilai miliaran rupiah ini.(Adi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *