GLOBALJAMBI.CO.ID, JAMBI – Di tepian Sungai Tanjung Merindu, suara air yang dulu menjadi penghidupan kini hanya menjadi saksi bisu dari jeritan hati warga dua desa di Pulau Pandan, Kerinci. Sungai itu bukan sekadar aliran air, tapi sumber kehidupan. Tempat mereka menebar jala, menyiram ladang, dan berharap esok pagi ada makanan di meja.
Namun sejak proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) milik PT Kerinci Merangin Hidro (KMH) dimulai, aliran kehidupan itu perlahan mati. Mata pencaharian warga dari sektor pertanian, perikanan sungai, hingga nelayan darat pun ikut terkikis.
Yang membuat luka mereka semakin dalam, bukan hanya aliran sungai yang menyempit, tapi juga sikap para pemimpin desa yang seharusnya menjadi pembela suara rakyat. “Kami tidak ada ketua, kami bergerak sendiri. Kepala desa sudah berpihak kepada mereka (perusahaan PLTA), kami tidak rela,” ujar Erniati, salah satu ibu-ibu yang ikut aksi penolakan, dengan suara tercekat.
Bukan hanya satu, tapi dua kepala desa di kawasan itu kini tengah disorot. Mereka dinilai lebih sering “berdiri” di belakang perusahaan dibandingkan berdiri bersama rakyatnya. Kesepakatan demi kesepakatan dibuat, sebagian kecil warga menerima kompensasi, tapi mayoritas lainnya hanya diberi harapan kosong dan ketidakjelasan.
Suara Masyarakat Dibelokkan, Kompensasi Dipertanyakan
Sungai Tanjung Merindu akan dinormalisasi untuk memperlancar jalannya proyek PLTA Kerinci. Namun, kompensasi yang seharusnya menjadi bentuk keadilan bagi warga terdampak, justru menjadi konflik baru. Banyak warga mengaku tidak pernah tahu-menahu soal kesepakatan itu. Bahkan, informasi pun ditutupi.
“Kami merasa dibohongi. Kami hanya minta hak kami, bukan mau cari masalah,” ungkap seorang warga lainnya dengan nada getir.
Lebih mengejutkan, warga menduga ada permainan antara pihak perusahaan dan Humas PT KMH, Aslori, bersama kepala desa. Mereka pun meminta tokoh nasional Jusuf Kalla untuk turun langsung melihat kondisi lapangan dan memecat Aslori dari jabatannya.
“Kami tidak ingin terjadi gesekan. Kami hanya ingin didengar langsung, tanpa perantara yang punya kepentingan sendiri,” ujarnya dengan tegas.
Jeritan Yang Tak Boleh Diabaikan
Aksi penolakan warga bukan tanpa sebab. Ini adalah jeritan dari masyarakat kecil yang merasa ditinggalkan. Mereka tidak ingin menolak kemajuan, tapi mereka juga tidak ingin dilindas atas nama pembangunan.
Di bawah panas matahari, para ibu menenteng spanduk buatan tangan, para bapak duduk menatap sungai yang perlahan kehilangan nyawanya. Bukan hanya air yang surut, tapi juga harapan mereka.
“Kami Tak Butuh Uang, Kami Butuh Kehidupan Kami Kembali”
Di tengah segala kerumitan ini, satu hal menjadi jelas: warga tidak menolak pembangunan. Mereka paham pentingnya listrik. Tapi mereka ingin pembangunan yang adil. Yang memberi, bukan mengambil. Yang menyelamatkan, bukan menenggelamkan.
Sungai Tanjung Merindu bukan sekadar proyek. Ia adalah kehidupan yang berdetak. Dan ketika detak itu mulai hilang, yang tersisa hanyalah luka dan duka.
Akhir Kata : Suara dari Pinggiran
Masyarakat dua desa itu kini hanya berharap satu hal: jangan biarkan suara mereka tenggelam seperti aliran sungai yang mereka cintai. Mereka tidak ingin melawan. Mereka hanya ingin didengar. Didampingi. Dihargai.
Karena bagi mereka, keadilan bukan tentang kompensasi besar. Tapi tentang hak untuk hidup, untuk memilih, dan untuk tetap memiliki apa yang selama ini mereka jaga: alam dan martabat.
Redaksi GLOBALJAMBI.CO.ID akan terus mengikuti perkembangan kasus ini. Karena di balik setiap Mega proyek, selalu ada manusia yang terlibat, dan mereka pantas mendapatkan keadilan.***