Kerinci — Jika ada satu desa di Kabupaten Kerinci yang bisa disebut sebagai “harta karun” tersembunyi, maka Desa Sungai Kuning di Kecamatan Siulak Mukai pantas menyandang gelar itu. Desa terpencil ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa, hamparan kebun kopi dan kulit manis yang membentang luas sejauh mata memandang. Tapi siapa sangka, untuk mencapainya, dulu orang harus menempuh medan yang berat dengan motor trail atau mobil gardan dua, menerobos jalan rusak yang terjal dan berlumpur.
Oleh : Gusnadi, Globaljambi,co.id
Udara pagi di Sungai Kuning terasa segar, berpadu dengan aroma kulit manis yang menyeruak dari pohon-pohon besar yang menjulang. Di sela kabut tipis yang menggantung di antara perbukitan, tampak para petani memanggul karung-karung berisi hasil bumi: kopi, kulit manis, kentang, dan sayuran lainnya. Inilah denyut nadi kehidupan masyarakat Sungai Kuning bertani adalah napas mereka, dan tanah adalah emasnya.
Namun selama bertahun-tahun, desa ini seolah-olah terpinggirkan. Jalan rusak menjadi penghambat utama. Ongkos angkut hasil pertanian begitu tinggi, bahkan bisa mencapai Rp3.000 per kilogram, dan biaya perjalanan keluar desa mencapai Rp150 ribu per orang. Tapi semua itu mulai berubah.
Perhatian pemerintah akhirnya tiba
Sejak kepemimpinan Bupati Kerinci Monadi dan Wakil Bupati Murison, wajah Sungai Kuning mulai berseri. Lewat program BUNGA DESA (Bupati Nginap di Desa), pemimpin daerah itu menginjakkan kaki langsung ke desa ini, tidak sekadar berkunjung, tetapi bermalam, melihat langsung denyut kehidupan warganya. Mereka datang bukan dengan tangan kosong, melainkan membawa harapan berupa program-program nyata, termasuk perbaikan akses jalan yang selama ini menjadi mimpi buruk warga.
Kini, suara gemuruh kendaraan bukan lagi rintihan suspensi yang tersiksa, melainkan bukti jalan telah membaik. Warga tak lagi harus membayar mahal untuk mengangkut hasil tani. Biaya angkut kini turun menjadi Rp1.500 per kilogram, dan ongkos perjalanan menyusut menjadi Rp100 ribu per orang. Bagi warga, ini bukan hanya soal angka, tapi tentang kesempatan baru, tentang keterhubungan dengan dunia luar yang dulu terasa begitu jauh.
“Sekarang kami bisa bawa hasil tani lebih banyak, lebih cepat, dan lebih murah. Jalan sudah bagus, hidup kami juga makin ringan,” ujar petani kulit manis yang kini bisa panen dengan senyum lebih lebar.
Sungai Kuning bukan lagi cerita sedih dari ujung Kerinci. Ia sedang bangkit, memperlihatkan keindahan dan kekayaan yang selama ini tersembunyi. Desa ini adalah harta karun sejati, bukan emas atau permata, tapi tanah subur, semangat warganya, dan kini, perhatian dari pemimpinnya.
Dan ketika angin berhembus pelan dari balik bukit, membawa harum kopi dan kulit manis, Sungai Kuning berbisik pelan: “Aku tidak lagi terlupakan”.***