Teks Fhoto : Ilustrasi
KERINCi, Gj -Tanpa terasa kita sudah berada pada empat malam terakhir bulan Ramadhan, bertepatan Ramadhan ke 26, malam ke 27. Hari Jum’at (31/5).
Mayoritas ulama berpendapat, malam-malam ganjil pada bulan Ramadhan, umpamanya pada malam ke 21, 23 dan 27. dalam masa biasanya disebut turunnya Lailatul Qadar yakni malam seribu bulan, orang-orang beriman sangat merindukannya, karena pada saat itu Allah SWT, menyediakan kemuliaan, karunia, ampunan, rahmat dan keberkahan.
Namun malam ke 27, mendapat perhatian spesial dari umat Islam. Wajar, pada malam itu orang-orang beriman berusaha mencari dan meraihnya dengan meningkatkan ibadah dan amal sholeh serta mengharapkan rahmat dan ridho Allah SWT. Bahkan sebagiannya mengkhususkan untuk beri-i’tikaf di masjid.
Tersebab itu pula malam ke 27 Ramadhan, dalam budaya beberapa masyarakat di Kerinci umat muslim mengadakan perayaan yang meriah, dengan melakukan tradisi yang berbeda-beda dan di Desa Sebukar, pada malam ke 27 Ramadhan, mengadakan perayaan yang meriah dan mempunyai makna tersendiri bagi anak-anak setempat.
Mereka bebas keluar rumah membawa obor-obor atau disebut dengan “(Suloh) dalam bahasa Sebukar”, dari rumah satu, ke rumah lainnya, sambil bernyanyi-nyanyi, dan berteriak, uhah malah 27 “Cik-Cik, Kakuk-kakuk, Abang-abang, Mamuk-mamuk..(dalam bahasa Sebukar), Dengan berteriak terus menerus yang penuh dengan kebahagiaan tersebut, larut dalam kegembiraan.
Tidak hanya itu, cahaya obor-obor (suloh) kecil maupun besar berjejeran di setiap pagar rumah penduduk menambah eloknya malam yang sangat dinanti-nantikan tersebut. .
Pembuatannya tidak rumit, hanya bermodal sepotong bambu, minyak tanah dan beberapa helai kain sebagai sumbu obor, ditancapkan pada permukaan tanah dan depan pagar rumah,
Semarak 27 Ramadhan semakin terasa, karena dibombardir oleh letusan meriam tradisional dari bambu. Penduduk Sebukar menamakannya Padi Bulewh, bersahut-sahutan dari segala penjuru di wilayah Desa Sebukar, susah diterka dan di tebak, dari mana ledakan tersebut berasal. Siapa pula pemilik perangkat yang dentumannya terkuat dan paling lemah. Semua berpadu di tengah luapan suka cita anak-anak negeri Desa Sebukar.
Sayangnya zaman telah berubah sejak lebih kurang 10 tahun yang lalu. Ramadhan ke 27 seakan tak lagi diharapkan sinarnya, disana-sini api menyala dari pembakaran Obor-obor. Layaknya seribu meteor jatuh dari langit
Demikian sekilas gambaran tentang perayaan penyambutan malam ke 27 Ramadhan di Sebukar desa tercinta. Insyaallah, tradisi ini masih hadir di era sekarang. Cuma mengalami sedikit modernisasi.
Obor-obor kecil yang ditempatkan di pagar rumah, dahulunya dibuat dari bambu , menggunakan bahan bakar minyak tanah dan beberapa kain sebagai sumbu, kini berganti dengan lilin. Selain itu, meskipun meriam bambu masih populer, sesekali diselingi pula dengan kerasnya bunyi letusan petasan. (RAP)