Melawan Diskriminasi Benua Biru

Penulis : Mahyudi, Peneliti Studi Center for Indonesian Crisis Solution (STESIS) Jambi

GLOBALJAMBI – Kembali benua biru bikin gaduh. Di saat semua sendi kehidupan lesu akibat pandemi Covid19 termasuk juga sektor industri minyak sawit, Uni Eropa (UE) gencar melakukan aksi mempersulit perdagangan produk sawit asal Indonesia. (bizlaw.id, 16 Juli 2020). UE dengan skema Renewable Energy Directive (RED) II konsisten ingin secara bertahap mengurangi konsumsi minyak sawit dan menghapusnya di tahun 2030. Lagi-lagi kampanye hitam minyak sawit menjadi strategi UE yang sejatinya adalah aksi perang dagang. Isu soal deforestasi, pelanggaran HAM dan hak ketenagakerjaan hingga aspek kesehatan semakin gencar tanpa ampun menghantam dunia perkelapa sawitan Indonesia yang akhir-akhir ini semakin lesu. Seakan awan mendung dan mimpi buruk masih betah berlama-lama menyapa industri sawit negeri penghasil sawit nomer wahid di dunia.

Kondisi yang kurang menguntungkan ini bukan saja menjadi momok bagi para pelaku usaha namun juga berpengaruh hingga ke periuk nasi para petani sawit di seluruh pelosok Indonesia. 

Makanya jangan heran jika sering mendengar ocehan para petani yang bernostalgia era manis harga sawit di tahun 1998. Meskipun harus di akui bahwa kondisi perdagangan dan industri di masa itu tidak sekompleks saat ini.

Menurut penulis, masukan Duta Besar Indonesia untuk PBB– Hasan Kleib –sangat relevan dan menjadi ‘wajib’ di laksanakan. Gerakan perlawanan harus di gaungkan sebagai momentum kebangkitan industri kelapa sawit Indonesia. Pemerintah menjadi “panglima perang” dalam menghadapi gempuran negatif minyak sawit yang di motori oleh Uni Eropa berikut kolega-koleganya. Sebagai masukan, menurut Penulis setidaknya ada dua startegi perlawanan yang mesti dilakukan oleh Pemerintah dan stakeholder industri sawit. Yakni strategi lembut dan strategi keras dan Pemerintah beserta stakeholder industri sawit di rasa perlu melakukan serangan balasan dengan berupa strategi lembut (soft strategy) dan strategi keras (hard strategi) ini secara bersamaan sekaligus.

Untuk strategi lembut, kampanye positif tentang minyak sawit meliputi beberapa regulasi. Diantaranya pertama, semakin memantapkan kebijakan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable for Sustainable Palm Oil) dalam semua skala usaha (baca; skala perkebunan rakyat hingga perusahaan) Tujuannya adalah untuk menjawab isu usang tentang deforestasi, emisi karbon dan pemanasan global, kandungan kolesterol yang sebenarnya sebagai topeng untuk menutupi motif bisnis atau perang dagang dan melindungi minyak nabati yang di produksi AS, Eropa dan kroni-kroninya. Dengan komitmen kuat penerapan ISPO dan RSPO menjadi modal positif untuk terus digaungkan pada dunia bahwa industri minyak sawit Indonesia sudah menjalani prinsip-prinsip lestari. 

Kedua, memperkuat Indonesia Trade Promotion Centre (IPTC) sebagai badan khusus promotor minyak sawit. Badan ini berdiri sendiri dan bertugas melakukan promosi gencar minyak sawit di negara-negara yang memiliki regulasi negatif terhadap minyak sawit khususnya Eropa dan AS. Badan ini bergerak mengkolaborasikan elemen pemerintah maupun swasta. Badan ini bekerja menampilkan wajah sawit Indonesia yang ramah lingkungan, memenuhi standar kesehatan berbasis pada hasil-hasil kajian ilmiah dari lembaga-lembaga penelitian resmi. Penulis yakin, jika badan ini berjalan dengan baik maka tidak akan membutuhkan waktu yang lama untuk membalikkan logika negara-negara anti sawit untuk menerima minyak sawit.

Ketiga, Indonesia dan Malaysia bersatu. Mempercepat langkah strategis dan teknis kerjasama antara Indonesia dan Malaysia. Kedua negara hendaknya segera bertemu kembali guna membicarakan hal-hal krusial dalam mengantisipasi kampanye negatif industri minyak sawit sebagaimana seruan PM Mahattir di tahun 2018 yang lalu. Ini langkah penting karena sebagai produsen utama minyak sawit, kedua negara adalah pihak yang paling di rugikan atas kebijakan diskriminatif yang dilakukan oleh negara-negara Eropa dan AS. Dan sangatlah wajar jika dalam perang dagang yang brutal ini diperlukan kompatriot yang memiliki kepentingan sama agar lebih kuat dan mempercepat mencapai tujuan.

Sedangkan strategi keras (hard strategy), menurut penulis diantaranya, Pertama, Counter Attack. Maksudnya kampanye negatif di balas dengan kampanye negatif. Sebagai contoh terkait isu tingginya alih guna lahan (lebih sering di kenal dengan istilah deforestasi) yang kerap di jadikan senjata untuk mendiskriminasi minyak sawit. Ternyata sawit lebih rendah dalam aktivitas alih fungsi lahan jika di bandingkan kedelai dan jagung yang notabene merupakan minyak nabati unggulan negara-negara Eropa dan Amerika. Sebagaimana rilis Komisi Eropa–The Impact of EU consumption of deforestation (2013) yang di pajang di laman bpdp.or.id bahwa sawit hanya 8 %, kedelai 19 % dan jagung 11%. Artinya, isu deforestasi sebenarnya isu akal-akalan saja dari benua biru maupun benua koboi untuk menutupi kenyataan minyak nabati yang mereka hasilkan sesungguhnya lebih besar dampaknya terhadap deforestasi. Perbanyak seminar/webinar maupun penerbitan jurnal ilmiah internasional yang membahas perbandingan keunggulan minyak sawit dengan minyak nabati lainnya melibatkan para pakar multi science di barengi dengan ‘serangan udara’ yang masif melalui media mainstream maupun media sosial. 

Kedua, menempuh langkah hukum di badan internasional WTO. Pemerintah Indonesia dan Malaysia harus mengajukan gugatan atas upaya diskriminasi yang telah di buat oleh Uni Eropa,  Amerika beserta kroni-kroninya. Menuntut keadilan dan kesejajaran atas produk minyak nabati sawit dengan minyak nabati lain seperti minyak jagung dan kedelai. 

Langkah ini sangat perlu dilakukan guna memberikan warna kepada dunia bahwa Indonesia dan Malaysia bukan macan ompong dalam kancah internasional. Bahwa negara produsen minyak sawit ini memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam proses perdagangan internasional. Atau bahkan harus mendapatkan privilege lebih atas usahanya menemukan sumber energi yang terbarukan. Berjasa atas upaya mengikis ketergantungan atas minyak fosil.

Di samping itu, kemenangan Indonesia atas gugatan tentang iklan minyak sawit di Perancis tahun 2018 yang lalu juga bisa menjadi pelajaran berharga bahwa langkah tegas dan mempertahankan diri dari isu negatif memang perlu di lakukan. 

Akhir kata, penulis ingin menegaskan bahwa sawit adalah masa depan. Geliat ekonomi yag di topang sektor ini sudah merata di sudut-sudut penjuru nusantara. Pemerintah beserta stakeholder sawit lainnya harus terus melakukan aksi propaganda ke tengah masyarakat yang berusaha kebun sawit. Tujuannya agar tercipta kesatuan persepsi bahwa isu negatif tentang sawit perlu di tepis secara bersama dan selanjutnya melakukan langkah-langkah perbaikan mulai dari hulu hingga hilir dalam proses pengelolaan kebun kelapa sawit. Dan penulis menilai langkah GAPKI yang mengundang para petani sawit dalam acara IPOC 2018 di Bali patut di apresiasi.

Sekali lagi, sawit adalah masa depan, sektor tangguh penghasil devisa dan tangga menuju kesejahteraan dengan terus memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan. Dan ketika ada pihak yang secara sengaja ingin memghambat harapan masa depan ini, maka hanya ada satu kata LAWAN!!!.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *